, ,

Suasana sepi dan becek akibat genangan rob, para pedagang di Sunda Kelapa mengeluh pendapatan merosot drastis

oleh -1763 Dilihat
Banjir rob di Pelabuhan Sunda Kelapa Pedagang melintasi genangan rob di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Rabu (3/9/2025). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mengeluarkan peringatan dini terkait potensi banjir pesisir atau rob di Jakarta Utara yang terjadi hingga 4 September 2025. ANTARAFOTO/Muhammad Rizky Febriansyah/hma/rwa.

Sunda Kelapa Terendam Rob: Luka di Perut Ibukota yang Tak Kunjung Sembuh

Jangkauan Jakarta Pusat– Suasana di Pelabuhan Sunda Kelapa pagi itu bukanlah seperti biasa. Bukannya gemuruh mesin kapal dan teriakan pedagang yang mendominasi, melainkan cipratan air asin yang membentuk genangan-genangan luas setinggi betis. Para pedagang dan pekerja pelabuhan terpaksa melintasi genangan air rob itu dengan wajah muram, ada yang menggunakan sepatu boot karet, ada pula yang nekat menerobos dengan kaki telanjang, berharap dagangannya tidak ikut terendam. Pemandangan yang seharusnya menjadi potret kejayaan maritim Nusantara justru berubah menjadi gambaran pilu kerentanan ibukota.

Peristiwa yang terjadi pada Rabu, 3 September 2025, ini bukanlah hal yang mengejutkan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta telah lebih dulu mengeluarkan peringatan dini tentang potensi banjir rob di wilayah Jakarta Utara, yang diprediksi akan berlangsung hingga hari ini, 4 September. Namun, peringatan itu seolah hanya menjadi ritual tahunan yang harus dihadapi, sebuah siklus yang terus berulang tanpa solusi permanen yang terlihat di depan mata.

Akrab dengan Bencana: Rob dan Nasib Pelabuhan Tua

Sunda Kelapa bukan sekadar pelabuhan. Ia adalah sebuah living museum, saksi bisu dari denyut nadi perdagangan yang telah berdenyut sejak era Kerajaan Tarumanegara, Sunda, hingga kolonialisme Belanda. Namanya yang legendaris telah tercatat dalam berbagai literatur sejarah sebagai pusat rempah-rempah dunia. Kini, di usianya yang telah mencapai lebih dari satu milenium, pelabuhan ini harus berhadapan dengan musuh yang semakin kuat dan kejam: naiknya permukaan air laut.

Suasana sepi dan becek akibat genangan rob, para pedagang di Sunda Kelapa mengeluh pendapatan merosot drastis
Suasana sepi dan becek akibat genangan rob, para pedagang di Sunda Kelapa mengeluh pendapatan merosot drastis

Baca Juga: Di Tengah Lonjakan Temuan Kasus, Dinkes DKI: Ini Justru Indikator Positif

Banjir rob atau tidal flooding adalah fenomena dimana air laut masuk ke daratan lebih jauh dari biasanya, yang dipengaruhi oleh kombinasi faktor astronomis (posisi bulan dan matahari) dan klimatologis (angin, tekanan udara). Namun, di Jakarta, masalahnya jauh lebih kompleks. Fenomena alam ini diperparah oleh dua masalah buatan manusia: penurunan muka tanah (land subsidence) yang sangat cepat dan perubahan iklim global.

Jakarta Utara, tempat Sunda Kelapa berdiri, merupakan episentrum dari penurunan muka tanah. Eksploitasi air tanah yang masif menyebabkan lapisan tanah di bawah kota mengempis seperti balon yang kempis. Data menunjukkan beberapa wilayah di Jakarta Utara mengalami penurunan hingga 10-20 cm per tahun, menjadikannya salah satu kota dengan tingkat penurunan tanah tercepat di dunia. Akibatnya, daratan semakin “cembung” ke dalam, menyambut dengan “tangan terbuka” setiap kenaikan air laut.

Dampak Langsung: Ekonomi Rakyat yang Tergenang

Bagi para pedagang, nelayan, dan pekerja di Pelabuhan Sunda Kelapa, rob bukanlah berita di koran. Ia adalah realita yang merugikan secara ekonomi dan mengancam kesehatan.

Pak Darmin (57), seorang pedagang minuman dan makanan ringan di sekitar pelabuhan, mengeluh omzetnya merosot drastis. “Sudah sepi pembeli karena pandemi dulu sempat pulih, sekarang ada rob lagi. Orang malas datang, saya juga repak-repuk (repot) mengangkat dagangan biar tidak kebasahan. Kalau airnya masuk ke gerobak, ya habislah,” keluhnya sambil membersihkan kotoran yang dibawa air rob dari lantai warungnya.

Air rob yang menggenangi pelabuhan bukanlah air bersih. Ia adalah campuran air laut, lumpur, dan berbagai limbah dari permukiman padat dan industri di sekitarnya. Kontaminasi bakteri dan kuman penyakit sangat tinggi, menimbulkan risiko diare, infeksi kulit, dan leptospirosis (kencing tikus) bagi mereka yang sering terpapar.

Aktivitas bongkar muat barang dari kapal-kapal pinisi pun terhambat. Genangan air yang dalam membuat pergerakan forklift dan tenaga manual menjadi sulit dan berbahaya. Keterlambatan ini berimbas pada rantai pasok dan pendapatan para pemilik kapal dan pedagang besar.

Peringatan Dini BPBD: Antara Persiapan dan Kepasrahan

Peringatan dini yang dikeluarkan oleh BPBD DKI Jakarta setidaknya telah melakukan beberapa hal positif. Masyarakat memiliki waktu untuk mempersiapkan diri, mengamankan barang-barang berharga, dan menyiapkan pompa air. Posko-posko siaga darurat juga telah disiapkan.

Namun, bagi banyak warga, peringatan ini terasa seperti sirene yang dibunyikan secara rutin tanpa ada perubahan berarti. “Kami sudah hafal jadwalnya. Setiap tahun pasti ada. Peringatannya iya, tapi solusi agar rob tidak masuk lagi, itu yang tidak kami lihat,” ujar Sari, seorang warga yang rumahnya tak jauh dari pelabuhan.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memang telah mengandalkan pembangunan tanggul-tanggul raksasa seperti Proyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development) atau yang dikenal sebagai Giant Sea Wall. Namun, proyek megah yang masih berjalan ini menuai kritik dari berbagai pihak, baik soal dampak lingkungan maupun sosial terhadap masyarakat pesisir. Sementara itu, solusi jangka pendek seperti pompa dan tanggul darurat seringkali kewalahan menghadapi besarnya volume air yang masuk.

Melampaui Teknis: Refleksi atas Masa Depan Warisan Budaya

Tenggelamnya Sunda Kelapa oleh rob adalah sebuah metafora yang pahit. Ia melambangkan bagaimana warisan budaya dan sejarah yang begitu berharga terancam oleh ketidakmampuan kita mengelola lingkungan dan merencanakan kota secara berkelanjutan.

Pelabuhan ini adalah jiwa dari Jakarta. Jika Sunda Kelapa akhirnya harus ditinggalkan karena terus-menerus terendam, bukan hanya ekonomi masyarakat setempat yang hancur, tetapi Indonesia juga kehilangan sebuah simbol martabat dan kejayaan maritimnya.

Penyelamatan Sunda Kelapa tidak bisa hanya dengan membangun tanggul yang lebih tinggi. Ia memerlukan pendekatan komprehensif:

  1. Pengendalian Penurunan Tanah: Penghentian eksploitasi air tanah secara masif dan percepatan penyediaan air bersih melalui jaringan PAM adalah langkah paling krusial.

  2. Restorasi Ekosisten Pesisir: Rehabilitasi hutan mangrove di pesisir utara Jakarta dapat menjadi benteng alami yang menahan gempuran ombak dan rob.

  3. Adaptasi Berbasis Masyarakat: Memberdayakan masyarakat pesisir dengan pelatihan dan teknologi untuk beradaptasi dengan hidup berdampingan dengan rob, misalnya dengan rumah panggung atau sistem peringatan dini yang lebih efektif.

  4. Integrasi Kebijakan: Koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam menangani masalah rob dan penurunan tanah.

Genangan rob di Pelabuhan Sunda Kelapa pada September 2025 ini adalah lagi satu babak dalam cerita panjang pergulatan kota Jakarta dengan laut. Ia adalah alarm yang mengingatkan kita bahwa alam tidak bisa terus-menerus dikalahkan. Masa depan pelabuhan bersejarah ini, dan juga ibukota negara, tergantung pada pilihan-pilihan bijak dan berani yang kita ambil hari ini. Jika tidak, kita hanya akan menjadi penonton pasif yang menyaksikan sejarah besar itu perlahan-lahan tenggelam ditelan air.

Shoppe-Mall

No More Posts Available.

No more pages to load.