, ,

Menyusul Penetapan di Prolegnas 2025, DPR Janjikan Pembahasan RUU Perampasan Aset akan Transparan

oleh -778 Dilihat

Menuntut Keterbukaan: Proses Pengesahan RUU Aset Harus Transparan dan Partisipatif

Jangkauan Jakarta Pusat– Menyusul serangkaian protes keras di seluruh negeri yang menuntut pemberantasan korupsi yang lebih efektif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah akhirnya mengambil langkah signifikan. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Aset Hasil Tindak Pidana, atau yang lebih dikenal sebagai RUU Aset, secara resmi dimasukkan dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Targetnya ambisius dan jelas: mengesahkan RUU yang telah lama ditunggu-tunggu ini paling lambat akhir tahun depan.

Secara teori, ini adalah kabar gembira. Indonesia membutuhkan instrumen hukum yang kuat dan komprehensif untuk merampas aset-aset hasil kejahatan, khususnya korupsi, yang selama ini sering kali sulit dilakukan. UU yang ada dianggap memiliki banyak kelemahan, baik dari segi pembuktian terbalik yang terbatas, lamanya proses, hingga mekanisme pengelolaan aset sitaan yang tidak jelas. RUU Aset diharapkan dapat menjadi “game changer” dalam memutus mata rantai ekonomi para pelaku kriminal dan mengembalikan aset negara untuk kesejahteraan rakyat.

Namun, di balik optimisme tersebut, muncul kekhawatiran yang mendalam dari kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan pengamat hukum. Bukan tentang substansinya semata, tetapi tentang proses pengesahannya. Sejarah legislasi di Indonesia sering diwarnai dengan proses yang tertutup, digiring cepat-cepat (fast track), dan minim partisipasi publik yang bermakna. Kekhawatiran terbesar adalah RUU sepenting ini akan mengulangi kesalahan yang sama: disahkan secara terburu-buru, dengan muatan pasal-pasal bermasalah yang justru berpotensi disalahgunakan.

Mengapa Transparansi Mutlak Diperlukan?

RUU Aset bukanlah RUU biasa. Ia menyentuh hak-hak fundamental warga negara, seperti hak milik, praduga tak bersalah (presumption of innocence), dan prinsip keadilan. Beberapa poin kritis dalam RUU ini yang memerlukan pengawasan ketat antara lain:

  1. Perluasan Kategori Tindak Pidana: RUU ini berpotensi memperluas jenis kejahatan yang asetnya dapat dirampas, tidak hanya korupsi tetapi juga pencucian uang, narkotika, dan terorisme. Perluasan ini harus didiskusikan secara hati-hati untuk memastikan proporsionalitas.

  2. Pembuktian Terbalik (Reverse Burden of Proof): Ini adalah instrumen paling powerful namun juga paling berisiko. Sejauh mana mekanisme ini diterapkan? Apakah akan menghilangkan hak para pihak untuk membela diri? Batasan dan syarat-syaratnya harus dirumuskan dengan sangat jelas untuk mencegah kesewenang-wenangan.

  3. Pengelolaan dan Pemanfaatan Aset: Siapa yang mengelola aset yang disita? Bagaimana mekanisme transparansinya? Untuk apa saja aset tersebut dapat dimanfaatkan? Rakyat berhak tahu agar aset yang dirampas tidak justru “hilang” atau dikelola oleh institusi yang tidak akuntabel.

  4. Perlindungan bagi Pihak Ketiga yang Beritikad Baik: Bagaimana RUU ini melindungi keluarga, ahli waris, atau pihak lain yang tidak bersalah namun memiliki kepentingan hukum atas aset yang diduga hasil pidana? Ini adalah titik yang sangat rawan dan sering diabaikan.

Menyusul Penetapan di Prolegnas 2025, DPR Janjikan Pembahasan RUU Perampasan Aset akan Transparan
Menyusul Penetapan di Prolegnas 2025, DPR Janjikan Pembahasan RUU Perampasan Aset akan Transparan

Baca Juga: Suasana Haru dan Bahagia Warnai Sambutan Siswa untuk Presiden Prabowo di Sekolah Rakyat

Tanpa proses yang transparan, pasal-pasal yang mengatur hal-hal di atas berisiko dicurangi oleh kepentingan politik tertentu atau dirumuskan secara ambigu, yang pada akhirnya melemahkan tujuan RUU itu sendiri.

Bahaya Proses yang Tertutup dan Terburu-buru

Memaksakan pengesahan dengan target waktu yang ketat tanpa diimbangi dengan proses yang sehat adalah resep untuk bencana. Beberapa bahayanya adalah:

  • Cacat Formulasi Hukum: Pasal-pasal yang tidak matang secara teknis yuridis akan menghasilkan UU yang penuh celah (loopholes) dan mudah digugat di Mahkamah Konstitusi.

  • Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan: UU yang terlalu kuat tanpa checks and balances dapat berubah menjadi alat politik untuk membungkus lawan atau menekan kritik, alih-alih memberantas korupsi.

  • Kehilangan Kepercayaan Publik: Proses yang tertutup akan memicu skeptisisme masyarakat. RUU yang seharusnya menjadi simbol perjuangan melawan korupsi justru bisa dicurigai sebagai alat kekuasaan yang baru.

  • Mengabaikan Suara Korban dan Pakar: Proses dengar pendapat yang hanya formalitas akan mengesampingkan masukan berharga dari lembaga anti-korupsi, LBH, koruptor, dan para ahli hukum yang telah mendalami masalah ini selama puluhan tahun.

Apa yang Dituntut oleh Masyarakat Sipil?

Koalisi Masyarakat Sipil untuk RUU Aset yang terdiri dari ICW, Indonesia Judicial Monitoring Society (IJMS), LBH Jakarta, dan banyak lainnya, telah menyuarakan tuntutan yang jelas:

  1. Pembukaan Draf RUU Terkini: DPR dan Pemerintah harus secara proaktif mempublikasikan draf terbaru RUU Aset yang sedang dibahas. Masyarakat tidak bisa memberikan masukan berdasarkan draf usang atau sekadar rumor.

  2. Penyelenggaraan Dengar Pendapat yang Bermakna: Bukan sekadar seremonial, tetapi dengar pendapat yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dengan waktu yang memadai untuk menyampaikan analisis mendalam. Diskusi harus disiarkan secara langsung dan terbuka untuk media.

  3. Keterbukaan dalam Pembahasan Panja/Pansus: Proses pembahasan di tingkat Panitia Kerja (Panja) atau Panitia Khusus (Pansus) sering kali menjadi “black box”. Minimal, summary of proceedings atau hasil pembahasan per tema harus diumumkan kepada publik.

  4. Pertimbangan Masukan Publik Secara Serius: Masukan dari publik tidak boleh hanya dicatat, tetapi harus dipertimbangkan secara substantif. Jika ditolak, harus ada penjelasan yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

  5. Tidak Memaksakan Fast Track tanpa Kebutuhan Mendesak: Kecuali dalam keadaan darurat nasional, RUU sekompleks ini membutuhkan waktu yang cukup untuk dikaji, bukan dipacu untuk memenuhi target politik semata.

RUU Aset memiliki potensi monumental untuk mengubah lanskap pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia bisa menjadi senjata pamungkas untuk memulihkan kerugian negara dan memberikan efek jera yang nyata.

Namun, kekuatan sebuah undang-undang tidak hanya terletak pada kata-katanya yang keras, tetapi juga pada legitimasi yang dimilikinya. Legitimasi itu didapat dari proses pembuatannya yang inklusif, transparan, dan menghargai prinsip-prinsip demokrasi.

DPR dan Pemerintah memiliki pilihan: melanjutkan warisan proses legislasi yang tertutup dan penuh kecurigaan, atau membuka lembaran baru dengan menunjukkan komitmen genuin terhadap tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dimulai dari cara mereka membuat UU.

Mengesahkan RUU Aset dengan cara yang tertutup dan terburu-buru ibarat membangun rumah dengan pondasi yang rapuh. Ia mungkin akan berdiri, tetapi suatu saat akan retak dan runtuh dengan sendirinya. Mari desak wakil rakyat kita untuk bekerja dengan benar. Tuntaskan RUU Aset, tetapi lakukan dengan terbuka, transparan, dan libatkan kami, rakyat, yang akan merasakan dampaknya.

Shoppe-Mall

No More Posts Available.

No more pages to load.